Entri Populer

Kamis, 20 Oktober 2011

seni teater di indonesia

Seni pertunjukan mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Pementasannya menggunakan bahasa Melayu. Seni pertunjukkan ini dikenal dengan sebutan Komedi Bangsawan/Komedi Stambul/Opera Bangsawan. Cerita yang diangkat umumnya dari kisah-kisah 1001 malam. Seni pertunjukan ini merupakan produk kebudayaan populer yang masuk Hindia Belanda. Pemicunya antara lain kebutuhan massa di kota-kota besar akan hiburan.
Pengaruh dari drama barat mulai masuk sejak akhir abad ke-19. Menurut suatu pendapat, seni pertunjukan berasal dari Tanah Melayu. Sutradara teater keliling berdarah Rusialah yang membawanya. Pengaruh tersebut mulai muncul dalam penulisan naskah yang dipentaskan untuk kepentingan sosial. Dalam perkembangannya, muncul dua jalur, yaitu Komedi Stambul/Opera Melayu dan realisme gaya Eropa.
Saat seni pertunjukkan teater mulai tumbuh, berbagai kecenderungan masuk bersamaan. Hal ini menyebabkan munculnya 2 mazhab sekaligus. Pertama, gaya realis yang dikembangkan Wiggers, seorang wartawan. Ia mengangkat berbagai masalah perubahan sosial. Salah satu karyanya adalah Lelakon Raden Bei Surio Retno. Kedua, gaya romantik yang dikembangkan oleh Rustam Effendi, intelektual muda pribumi. Salah satu karyanya adalah Bebasari. Gaya romantik menyampaikan idealisme dalam rangka bangkitnya rasa kebangsaan.
Tahun 1940-an, Jepang menguasai Indonesia. Jepang menentukan segala jenis seni sebagai alat propaganda untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya. Jepang juga menerapkan sensor yang sangat ketat, sehingga menyebabkan dramawan kita terpaksa mematuhinya. Karya yang terkena dampak itu adalah Merayu Sukma. Karya tersebut jelas-jelas menggunakan simbol-simbol untuk menyebarluaskan gagasan militerisme.
Pada masa itu, Usmar Ismail mencoba keluar dari mainstream. Ia menciptakan karya tidak sebagai propaganda. Salah satunya adalah drama Citra. Karya tersebut merupakan upaya mengungkapkan masalah sosial tanpa melanggar ketentuan.
Setelah proklamasi, dramawan banyak memperhatikan nasib rakyat kecil. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk akibat revolusi. Transisi ini, mau tidak mau, memaksakan perubahan sosial politik yang mendadak dan mendasar. Salah satu dramawan yang aktif adalah Utuy Tatang Sontani. Ia mengungkapkan kehidupan sehari-hari rakyat kecil, Bunga Rumah Makan dan Awal dan Mira. Ia juga mengembangkan karya bersumber pada cerita rakyat. Misal, cerita rakyat Sangkuriang.
Tahun 1950-an, timbul kesadaran di kalangan elit politik bahwa kesenian merupakan saluran penting untuk menyebarluaskan ideologi. Drama Gerbong karya Agam Wispi adalah contohnya. Contoh lain, Bung Besar karya M. Joesa Biran. Drama ini memberikan tanggapan ironis terhadap kekuatan politik yang dominan.
Kemudian masuk pengaruh jenis baru drama Barat, yaitu drama eksistensialis dan absurd. Dramawan kita mendapat kesempatan ke luar negeri dan pulang memberikan udara baru. Misal, karya Iwan Simatupang Petang di Taman. Drama tersebut menunjukkan suasana berbau Eropa yang terasa dipaksakan terjadi di Indonesia. Inilah yang disebut eksistensialisme.
Tahun 1960-an, drama berkembang melalui penerjemahan sejumlah drama dengan kualitas dan gaya berbeda. Dramawan kita menerjemahkan karya Shakespeare misalnya untuk keperluan pementasan.
Rendra adalah tokoh utama yang menggerakan arah drama melalui terjemahan. Misal, naskah Samuel Beckett Menunggu Godot. Rendra justru tidak banyak menghasilkan karya asli. Pengikutnya seperti Arifin C. Noer dan Putu Wijaya menghasilkan drama penting karena dipentaskan oleh kelompok teater sendiri.
Drama yang baik adalah yang berhasil menangkap inti gejala perubahan sosial dan kemudian secara subtil menyampaikannya, bukan secara vulgar menampilkannya. Drama akan tetap kita perlukan untuk menanggapi dan menilai berbagai jenis nilai, kaidah, kecenderungan, dan peristiwa.
Penggunaan bahasa daerah dalam teater tidak usah dirisaukan. Pada dasarnya, drama menampilkan dialog yang bersumber pada bahasa lisan yang tidak baku. Masalah yang berakar pada masyarakat tertentu bisa ditangkap intinya, untuk kemudian diangkat ke atas pentas, melalui bahasa lisan. Dengan demikian, drama memiliki fungsi yang nyata dalam masyarakat.
Pustaka :
Sanusi Pane dan kawan-kawan. 2006. Antologi Drama Indonesia. Lontar Foundation : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar